Divisipassulteng - Presiden, Satu kata, yang mengandung berjuta peristiwa, berjuta cerita.
Perjalanan kata powerfull itu sudah berjalan sembilan abad hingga abad
ke-21 ini. Apakah dan siapakah sebenarnya seorang ‘Presiden’ itu, mari
kita kaji bersama.
Tercatat, kata presiden kali pertama merujuk
pada pemimpin lembaga pemerintahan atau pendidikan, misalnya President
of the Exchequer (1179); Presiden dari Universitas Oxford dan Cambridge
(1464); dan berdirinya President of the Royal Society (1660).
Pada
awal abad ke-17, kata presiden diekspor Inggris ke Amerika Serikat
(AS), yaitu ketika menyebut pemimpin dari Thirteen Colonies dengan
istilah President of the Council (1608).
Thirteen Colonies adalah
sebutan awal Inggris untuk cikal-bakal AS. Akhirnya, pada 1774 adalah
tahun pertama ketika AS menggunakan sendiri istilah presiden untuk
President of the Continental Congress.
Presiden berasal dari
bahasa latin: prae- dan sedere. Seorang presiden adalah orang yang
‘preside’, memimpin. Awalnya istilah presiden merujuk pada orang yang
memimpin suatu upacara atau pertemuan.
Dalam referensi lain,
istilah presiden berasal dari latin praesideo (menjaga atau mengarahkan)
dan praesidere (memimpin). Pada konteks kekinian, presiden bermakna
kepala negara, baik dipilih langsung oleh rakyat, ataupun melalui
parlemen, atau sebagaimana di AS --melalui electoral college.
Walaupun,
perlu dicatat, sejarah evolusi terminologi presiden pernah pula
digunakan untuk jabatan yudikatif dan legislatif. Di Finlandia,
berdasarkan Konstitusi 1919, posisi Ketua Mahkamah Agung disebut dengan
istilah presiden.
Di Spanyol, berdasarkan Konstitusi 1978,
pemerintahan monarki terbatasnya menyematkan nama presiden untuk jabatan
perdana menteri.
Dalam perkembangannya, presiden tidak hanya
berperan sebagai kepala negara, namun juga sebagai kepala pemerintahan.
Jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kali
pertama muncul di AS pada 1789.
Pasal II ayat 1 Konstitusi AS
mengatur, “The executive power shall be vested in a President of the
United States of America.” Maka, tidak berlebihan untuk menyematkan
bahwa sistem presidensial, lahir di negara tersebut pada akhir abad
ke-18.
Yang pasti, presiden merujuk pada satu orang, tidak lebih.
Satu orang yang paling berkuasa di dalam sistem pemerintahan
presidensial. Tentunya, orang yang paling berkuasa itu bukan raja, atau
ratu, sebagaimana dalam sistem monarki.
Agaknya, para founding
parents AS yang berasal dari Inggris, tidak ingin membangun sistem
monarki di tanah harapannya yang baru. Presiden adalah jawaban ala AS,
yang menolak model kekuasaan raja yang absolut.
Hanya, kekuasaan
presiden tetap saja seluas kekuasaan raja, tentu dengan pembatasan yang
lebih tegas dari cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Bila kekuasaan
raja mutlak tanpa dapat dicap salah (the king can do no wrong);
kekuasaan presiden tetap dibatasi oleh konstitusi dan peraturan
perundangan.
Pembatasan dengan konstitusi itulah yang dikenal
sebagai paham konstitusionalisme. Tujuannya, agar bersamaan dengan
melekatnya kekuasaan besar yang pada presiden, lahir pula
pertanggungjawaban yang besar.
Meski kekuasaannya terbatas,
seorang presiden tetaplah model raja dalam dunia modern. Seorang
presiden adalah penguasa strategis utama dalam sistem republik,
sebagaimana kekuasaan raja dalam sistem monarki.
Tidak heran,
merujuk pada masa bakti periode panjang kepresidenan Franklin D
Rossevelt (1933 - 1945) muncul istilah “the imperial presidency”. Dalam
bahasa Harold J Laski, Presiden Amerika, “both more and less than a
king.”
Proses lahirnya presiden di AS cukup berliku. Terlebih,
hasrat untuk membentuk negara kerajaan - bukan republik - tetap
mempunyai pendukung berani mati. Setahun sebelum konstitusi disetujui,
John Jay mengirim surat kepada George Washington, mempertanyakan apakah
tidak sebaiknya Amerika Serikat berbentuk kerajaan.
Alexander
Hamilton, meski tidak mendapatkan dukungan, dengan lantang berargumen,
sistem kerajaan Inggris adalah yang terbaik di dunia. Baginya, tidak
akan ada pemerintahan yang baik tanpa eksekutif yang baik. Serta,
eksekutif yang baik tidak akan pernah lahir dari negara republik.
Pada
akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, bentuk negara
republik disetujui, sistem presidensial diadopsi. George Washington
dipilih secara bulat menjadi presiden pertama AS (1789- 1797).
Meski
memilih presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi AS
memutuskan sang presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk
menyelesaikan rumitnya masalah bangsa.
Maka dirancanglah
konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden, namun tetap
menutup potensi hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.
Alexander
Hamilton sendiri, yang justru pada awalnya mendukung monarki dengan
raja sebagai pemimpin, menjelaskan dengan baik konsep presiden. Dalam
essay 69 dari Federalist Paper (1788), Hamilton membedakan antara
presiden dan raja.
Menurut dia, raja terpilih karena keturunan.
Sementara pesiden menjabat melalui pemilihan, dan dapat dipilih kembali
setiap empat tahun. Meski kemudian melalui amandemen ke-22 di tahun
1951, masa jabatan presiden AS dibatasi hanya maksimal dua periode.
Di
Eropa, presiden sebagai pemimpin negara pertama kali muncul di
Perancis. Meski bentuk negara republik berawal pada 1792, jabatan
presiden baru muncul di era republik kedua (1848-1851), dengan Louis
Napoleon sebagai presiden.
Sempat menghilang di era Kaisar
Napoleon III (1852-1870), jabatan presiden kembali muncul di masa
republik ketiga (1875-1940). Di Jerman, jabatan presiden baru muncul
setelah selesainya perang dunia I (1918), yaitu dengan berlakunya
konstitusi Weimar. Sempat lenyap di era diktator Hitler (1934-1945),
jabatan presiden kembali muncul setelah perang dunia kedua.
Di
Asia, jabatan presiden dicangkokkan oleh Amerika Serikat ketika
memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina di tahun 1935. Di
Afrika, presiden Liberia yang hadir pada 1848 adalah presiden pertama
yang diakui dunia internasional.
Di abad ke-21, lebih tiga abad
sejak kelahirannya, menurut daftar yang dibuat ensiklopedi Wikipedia,
dengan beberapa variasi dan evolusi konsep, ada lebih dari 145 negara
yang mengadopsi sistem pemerintahan presidensial.
Di Indonesia,
pada 1945, setelah melalui perdebatan panjang di BPUPKI dan PPKI, UUD
1945 akhirnya memutuskan Indonesia bersistem republik, dengan Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Sempat beralih
sistem menjadi parlementer, sistem presidensial kembali ditegaskan
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan dikuatkan lagi melalui empat
perubahan konstitusi pada 1999-2002.
Banyak romantika kehidupan
yang dialami presiden-presiden Indonesia sejak Presiden Pertama Bung
Karno hingga Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Yang
pasti, siapapun yang menjadi presiden akan menghadapi persoalan dan
kompleksitas ke-Indonesia-an yang tidak pernah mudah. Maka, kita harus
sangat berhati-hati dan superselektif pada saat menjatuhkan pilihan
untuk presiden ketujuh di tahun depan.
Kita sedang memilih
Presiden Indonesia, bukan Presiden Idol. Kita sedang memilih seorang
presiden, bukan pesinden. Berbeda dengan presiden, pesinden selesai
melaksanakan tugasnya cukup dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa yang
membawa ketenangan jiwa.
Ke depan, Presiden Indonesia harus
menjaga tumbuh-kembangnya demokrasi Indonesia di tengah tantangan
korupsi yang masih merajalela. Mari pilih presiden, bukan pesinden.
Jangan salah pilih pada 2014. Keep on fighting for the better Indonesia. (*)
sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/10/29/presiden-bukan-pesinden
Silahkan anda mengisi komentar pada form yang disediakan. Komentar yang mengandung unsur Sara, Politik, Fitnah dan Pornografi akan kami hapus.
EmoticonEmoticon