Oleh Denny Idrayana
MANA yang lebih tepat untuk menyingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang? Perppu atau Perpu? Bagi saya bisa keduanya, tidak perlu diperdebatkan. Bukan suatu hal yang sangat penting, apalagi genting. Kalaupun saya memilih menggunakan kata “Perpu”, karena singkatan itulah yang disebutkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
MANA yang lebih tepat untuk menyingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang? Perppu atau Perpu? Bagi saya bisa keduanya, tidak perlu diperdebatkan. Bukan suatu hal yang sangat penting, apalagi genting. Kalaupun saya memilih menggunakan kata “Perpu”, karena singkatan itulah yang disebutkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
Tetapi persoalan penulisan Perpu yang tidak
genting tentu berbeda dengan alasan penerbitan Perpu yang justru harus
memenuhi syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa” berdasarkan
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Syarat itulah yang dipenuhi Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013
terkait Mahkamah Konstitusi.
“Kegentingan Yang Memaksa”
Substansial Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, memutuskan ada tiga
kondisi yang termasuk klasifikasi “kegentingan yang memaksa”: (1) Adanya
keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan undang undang; (2) Undang-Undang yang
dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau
ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum
tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Lebih
jauh MK memutuskan, Perpu ditetapkan berdasarkan penilaian
subyektifitas presiden, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR.
Maka, siapapun bisa berbeda pandangan tentang kegentingan yang memaksa,
tetapi penetapan Perpu adalah kewenangan konstitusional Presiden yang
diberikan oleh UUD 1945. Yang bisa membatalkan Perpu termasuk tidak
setuju alasan “kegentingan yang memaksa” hanyalah DPR. Mari kita patuhi
aturan main yang telah terang-benderang diatur dalam UUD 1945 tersebut.
Apakah
ada kegentingan yang memaksa? Yang pasti, saya belum pernah membaca
dalam sejarah Republik ini, ataupun di dunia, ada Ketua Mahkamah
Konstitusi, ataupun ketua lembaga peradilan tertinggi, yang diduga
menerima suap dan ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Kejadian
penangkapan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar, jelas merupakan suatu
peristiwa luar biasa yang mengguncangkan sendi-sendi kehidupan
berdemokrasi dan pilar negara hukum di Tanah Air. Kecuali Anda
berpandangan penangkapan Ketua MK adalah kejadian biasa, kejadian yang
sering terjadi, kejadian yang normal-normal saja, maka kita nyata-nyata
berbeda pendapat.
Lebih jauh, kita semua paham bahwa tertangkapnya
Pak Akil Mochtar tidak hanya berdampak kepada beliau secara pribadi,
tetapi juga kepada MK sebagai institusi. Telah banyak analisis yang
mengatakan, tertangkapnya Pak Akil menyebabkan runtuhnya kepercayaan
publik kepada MK. Di tengah begitu strategisnyakewenangan MK untuk
menjaga demokrasi kita, apakah keruntuhan wibawa hukum itu adalah hal
yang normal, bukan situasi yang genting?
Memang betul, persidangan
MK masih dapat berjalan. Delapan hakim yang masih ada tetap memenuhi
syarat kuorum sidang pleno hakim konstitusi. Tetapi, apakah kegentingan
yang memaksa hanya dibaca sebagai syarat prosedural persidangan demikian
saja? Padahal ada hal lebih substansial yang harus dipenuhi dan
dipulihkan ketimbang hanya persidangan yang masih berjalan, yaitu
kepercayaan publik yang menurun drastis.
Apalagi, jangan
dilupakan, dalam waktu kurang dari enam bulan lagi, pada 9 April 2014,
kita akan mempunyai agenda ketetanegaraan yang maha penting yaitu
Pemilihan Umum Legislatif, yang kemudian dilanjutkan pula dengan
pemilihan presiden. Pada perhelatan akbar demokrasi tersebut, peran MK
yang dipercaya penuh oleh rakyat sangatlah penting. Tidak boleh kita
biarkan, keterpurukan kepercayaan publik akibat tertangkapnya Ketua MK
nonaktif berdampak pada runtuhnya pula legitimasi pemilu, yang sengketa
hasilnya merupakan kewenangan MK untuk mengadili.
Terakhir, Perpu
atau produk hukum apapun, tidak hanya berpijak pada kepastian hukum yang
kaku, tetapi juga pada rasa keadilan dan kemanfaatan. Maka Perpu Nomor 1
Tahun 2013 bukan hanya dikeluarkan untuk memenuhi kepastian kegentingan
yang memaksa saja, tetapi sebagai pesan dan catatan sejarah yang maha
penting bahwa moral keadilan bangsa ini pernah terlukai sangat parah,
karena tertangkapnya Ketua MK yang diduga memperjualbelikan keadilan
dalam sengketa pilkada.
Semua pertimbangan dan kebutuhan di atas,
tidak akan cukup jika hanya dipenuhi dengan melalui prosedur normal,
ataupun cara biasa-biasa saja. Dalam kondisi biasa, perubahan UU MK saja
memang memadai, namun tidak dalam hal tertangkapnya Ketua MK, salah
satu pimpinan tertinggi pemegang palu keadilan. Pesan moral yang nyaring
dan keras harus disuarakan dengan prosedur lebih cepat, dengan
substansi yang lebih tepat.
Dalam sudut pandang memberikan pesan
yang nyaring, pesan yang tidak normal, pesan yang bukan biasa-biasa saja
itulah, Presiden SBY menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Tujuannya
jelas bukan hanya untuk mengatasi prosedural persidangan di MK, yang
memang masih berjalan.
Targetnya jelas lebih jauh dari itu, untuk
menyelesaikan persoalan yang lebih substansial yaitu membantu
memulihkan kepercayaan publik kepada MK. Bahkan lebih penting lagi,
tidak hanya untuk menyelamatkan Pemilu 2014, tetapi juga untuk
menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia.
Tiga Substansi Inti Perpu
Berangkat dari nawaitu demikian, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 disusun dengan membuka ruang partisipasi dan menerima masukan dari para guru besar hukum tata negara, mantan hakim konstitusi, ahli pembuat peraturan perundangan dan praktisi hukum. Presiden SBY, meskipun paham benar Perpu adalah hak konstitusional yang melekatpada dirinya, tetap ingin menghasilkan Perpu yang memang efektif melakukan tugasnya, bukan hanya menyelamatkan MK, Pemilu 2014, tetapi juga demokrasi dan negara hukum Indonesia.
Maka,
dirumuskanlah tiga hal menjadi inti materi Perpu: (1) Penambahan syarat
hakim konstitusi; (2) Perbaikan mekanisme seleksi hakim konstitusi; dan
(3) Penyempurnaan mekanisme pengawasan hakim konstitusi. Semuanya
dirumuskan dengan tetap menghormati independensi MK, bahkan dengan
menjadikan putusan-putusan MK sebagai pertimbangan utama yang tidak
disimpangi sedikitpun.
Penambahan syarat calon hakim konstitusi
yang tidak boleh menjadi anggota partai politik dalam rentang tujuh
tahun adalah sejalan dengan logika konstitusional yang dibangun oleh MK
sendiri. Dalam putusan nomor 81/PUU-IX/2011 terkait UU Penyelenggara
Pemilu, MK menegaskan kemandirian KPU harus dijaga salah satunya dengan
menutup kesempatan anggota parpol untuk langsung dapat menjadi anggota
KPU. MK berpendapat hal itu penting untuk menjaga kemandirian
penyelenggara pemilu yang ditegaskan UUD 1945.
Berangkat dari
logika pikir yang sama dengan putusan MK tersebut, Perpu Nomor 1 Tahun
2013 juga berpandangan, kewenangan MK yang banyak bersinggungan dengan
kepentingan partai politik, utamanya dalam sengketa hasil pemilu, harus
dijaga netralitasnya. Bahkan, MK punya kewenangan konstitusional yang
lebih banyak dan strategis jika dibandingkan dengan KPU. Karena itu,
syarat jeda waktu calon hakim konstitusi dibuat lebih panjang, bukan
lima tahun, tetapi tujuh tahun.
Mekanisme seleksi yang lebih baik,
dengan melibatkan Panel Ahli yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan
bagi setiap calon hakim konstitusi, disusun untuk lebih memperjelas
prinsip proses seleksi yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
Pelibatan panel ahli tidak menghilangkan kewenangan para pengusul hakim
konstitusi (MA, DPR dan Presiden), karena ketiganya tetap diberikan
kewenangan mengusulkan calon hakim konstitusi yang akan diuji kelayakan
oleh Panel Ahli. Lebih jauh, yang mempunyai kata pemutus akhir siapakah
yang menjadi hakim konstitusi tetaplah ketiga lembaga pengusul tersebut,
bukan Panel Ahli.
Berkait dengan pengawasan hakim konstitusi,
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang permanen,
sebenarnya sejalan dengan Dewan Etik permanen yang direncanakan oleh MK
sendiri. Prinsipnya Perpu Nomor 1 tahun 2013 memandang perlu pengawas
eksternal yang tetap menghormati independensi MK, maka pembentukan MKHK
dibuat melibatkan KY dan MK sendiri. Rumusan demikian disetujui tentu
setelah mempertimbangkan putusan MK yang melarang pengawasan hakim
konstitusi oleh KY. Karenanya MKHK tidak ada sama sekali unsur dari KY,
meskipun sekretariatnya dirancang berkedudukan di KY.
Dengan tiga
substansi tersebut, Perpu Nomor 1 tahun 2013 diyakini dapat membantu
percepatan pulihnya kepercayaan kepada MK di mata publik. Karena Perpu
Nomor 1 Tahun 2013, bukan hanya soal prosedural persidangan di MK,
tetapi lebih sustansial dari itu. Karena Perpu memang harus menjawab
persoalan kegentingan. Meski MKmasih bisa bersidang, tetapi
tertangkapnya Ketua MK oleh KPK bukankah persoalan biasa-biasa saja yang
bisa direspon dengan cara-cara normal perubahan UU saja. Bangsa ini
harus memaknai tertangkapnya Ketua MK oleh KPK sebagai hal luar biasa
bagi kehidupan negara hukum, situasi yang abnormal, situasi yang
genting, yang perlu dijawab dengan lahirnya Perpu, ataupun Perppu. Demi
pesan nyaring Indonesia yang antikorupsi, Indonesia yang lebih baik.
Keep on fighting for the better Indonesia. (*)
sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/10/22/perpu-genting-penyelamatan-mk
Silahkan anda mengisi komentar pada form yang disediakan. Komentar yang mengandung unsur Sara, Politik, Fitnah dan Pornografi akan kami hapus.
EmoticonEmoticon